Rabu, 02 Maret 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 07 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

PERIODE MEKKAH

Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah
dengan nubuwwah dan risalah terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki
keistimewaan tersendiri secara total, yaitu:
PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun
PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh
Dan masing-masing periode mengalami beberapa tahapan sedangkan masing-masing
tahapan memiliki karakteristik tersendiri yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu
akan tampak jelas setelah kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap
kondisi yang dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.
Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
Tahapan Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.
Tahapan Dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan
tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ke
Madinah.
Tahapan Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari
penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan
berlangsung hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian pembahasannya akan
diketengahkan pada tempatnya nanti.
DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN
Di Gua Hira'
Setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran
S i r a h N a b a w i y a h | 60
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi
untuk mengasingkan diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau
membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira' yang terletak di jabal an-Nur , yaitu
sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang indah, panjangnya 4 hasta,
lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira' al-Hadid (hasta ukuran besi). Di dalam gua
tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang
mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai
pemandangan alam di sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu.
Kaumnya yang masih menganut 'aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh
membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj yang
terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju dengannya.
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ini
merupakan bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya
hubungannya dengan kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapanestapa
kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam
mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap
mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. 'Uzlah
yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau ditaklif dengan risalah.
Beliau mengambil jalan 'uzlah ini selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan
mentadabburi kehidupan ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba
waktunya untuk berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah
memperkenankannya.
Jibril 'alaihissalam turun membawa wahyu
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh tahun- yaitu usia yang melambangkan
kematangan, dan ada riwayat yang menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus –
tanda-tanda nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya
sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru'ya –ash-
Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang menyingsing. Hal ini
berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian berlangsung selama dua puluh tiga
tahun- dan ar-Ru'ya ash-Shadiqah ini merupakan bagian dari empat puluh enam tanda
kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari pengasingan dirinya ('uzlah) di gua Hira',
tepatnya di bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada
penduduk bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan
sebagai Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-
Qur'an.
Setelah melalui pengamatan dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tandatanda
akurat, kami dapat menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin,
S i r a h N a b a w i y a h | 61
tanggal 21 malam bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610
M. Tepatnya usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut
penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar tiga puluh
sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut penanggalan syamsiyyah
(berdasarkan peredaran matahari; masehi).
Mari kita dengar sendiri 'Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu 'anha menuturkan kisahnya
kepada kita mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut
dan yang mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat
mengubah alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; 'Aisyah radhiallâhu 'anha
berkata: "Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
adalah berupa ar-Ru'ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan ar-Ru'ya itu
hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih menyenangi
penyendirian dan melakukannya di gua Hira'; beribadah di dalamnya beberapa malam
sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam melakukan itu, beliau mengambil
bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama hingga datang
kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira' tersebut, seorang malaikat
datang menghampiri sembari berkata: "bacalah!", lalu aku menjawab (ini adalah jawaban
Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang buku ini dinukil langsung dari naskah
asli haditsnya-red): "aku tidak bisa membaca!". Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bertutur
lagi: "kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu
setelah itu melepaskanku sembari berkata: "bacalah!". Aku tetap menjawab: "aku tidak
bisa membaca!". Lalu dia untuk kedua kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku
kehabisan bertenaga kemudian melepaskanku seraya berkata lagi: "bacalah!". Lalu aku
tetap menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Kemudian dia melakukan hal yang sama
untuk ketiga kalinya, sembari berkata: "bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu
lah Yang Paling Pemurah". (Q.S. al-'Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan merekam
bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid
sembari berucap: "selimuti aku! Selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga rasa
ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada Khadijah: "apa yang terjadi terhadapku ini?".
Lantas beliau menceritakan pengalamannya, dan berkata: "aku amat khawatir terhadap
diriku!". Khadijah berkata: "sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta'ala tidak akan
menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul
beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu
serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran". Kemudian Khadijah berangkat
bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin 'Abdul 'Uzza, anak
paman Khadijah (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang
menganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan 'Ibrani
dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis –sebanyak apa yang
dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan 'Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta
S i r a h N a b a w i y a h | 62
dan buta; ketika itu Khadijah berkata kepadanya: "wahai anak pamanku! Dengarkanlah
(cerita) dari anak saudaramu!". Waraqah berkata: "wahai anak laki-laki saudara (laki-laki)-
ku! Apa yang engkau lihat?". Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membeberkan
pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata kepadanya: "sesungguhnya inilah
sebagaimana ajaran yang diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan
muda ketika itu nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "benarkah mereka akan
mengusirku?". Dia menjawab: "ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau
bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan
membantumu dengan sekuat tenaga". Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah
meninggal dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).
Masa Stagnan Turunnya Wahyu
Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dari Ibnu Abbas yang intinya
menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung selama beberapa hari ; pendapat inilah
yang rajih/kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus
harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung selama
tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama sekali, namun disini bukan pada
tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.
Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dirundung kesedihan
yang mendalam yang diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.
Dalam kitab "at-Ta'bir" , Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut:" menurut
berita yang sampai kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat terjerembab ke
ujung jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk
mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata: "wahai
Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar utusan Allah!". Spirit ini dapat
menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah,
namun manakala masa stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan
sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril
menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi spirit
kepada beliau-red)".
Jibril 'alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu
Ibnu Hajar berkata: "Masa stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah
dialami oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk
kembali mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti
S i r a h N a b a w i y a h | 63
datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk kedua kalinya. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita:
"Ketika aku tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit,
lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu
mendatangiku ketika di gua Hira' duduk diatas kursi antara langit dan bumi. Melihat hal
itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku mendatangi keluargaku
sembari berkata: 'selimutilah aku! Selimutilah aku!'. Lantas mereka menyelimutiku, baru
kemudian Allah menurunkah surat al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal
muddatstsir….hingga firmanNya: …fahjur'. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu
tetap terjaga dan datang secara teratur". Dalam hadits yang shahih: " Aku tinggal di dekat
gua Hira' selama sebulan; tatkala aku sudah selesai melakukan itu, maka aku turun
gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…".
Kemudian (teks hadits selanjutnya-red) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan
(cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut
turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan Ramadhan dan dengan begitu, artinya
masa stagnan antara dua wahyu tersebut berlangsung selama sepuluh hari sebab beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam tidak sempat lagi menyertai Ramadhan berikutnya setelah
turunnya wahyu pertama.
Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa kerasulan (risalah) beliau Shallallahu
'alaihi wasallam alias datang setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama
masa stagnan turunnya wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif
(pembebanan syara') beserta penjelasan konsekuensinya.
Jenis pertama adalah mentaklif beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dengan penyampaian
(al-Balagh) dan peringatan ( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"bangunlah! Lalu berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2); makna ayat ini adalah agar
beliau memperingatkan manusia akan azab Allah atas mereka jika mereka tidak bertaubat
dari dosa, kesesatan, beribadah kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik
kepadaNya dalam zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.
Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dengan penerapan
perintah-perintah Allah Ta'ala terhadap zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa
beliau agar mendapatkan keridhaan Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang
yang beriman kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya
Ta'ala: "dan Rabb-mu agungkanlah!"(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah khususkanlah
Dia Ta'ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya dengan seseorangpun.
Dan firmanNya: "dan pakaianmu bersihkanlah!" (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya
adalah menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang
yang mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan
S i r a h N a b a w i y a h | 64
kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka
kesucian/kebersihan diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya
lebih utama untuk dituntut. Dan firmanNya: "dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah!" (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah jauhkanlah dari sebab-sebab
turunnya kemurkaan Allah dan azabNya, dan hal ini direalisasikan melalui komitmen
untuk ta'at kepadaNya dan meninggalkan maksiat. Sedangkan firmanNya: "dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!" (al-
Muddatstsir: 6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari
manusia atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.
Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat itu kepada beliau-red); didalamnya
terdapat peringatan akan adanya gangguan dari kaumnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam berbeda agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan
memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: "dan untuk
memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!" (al-Muddatstsir: 7).
Permulaan ayat-ayat tersebut (surat al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan
agung- terekam dalam suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan memerintahkannya
agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna menyongsong panggilan
jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini tergambar dalam firmanNya: "Hai
orang yang berselimut! bangunlah! Lalu berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2) .
Seakan-akan dikatakan (kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ): sesungguhnya orang
yang hanya hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman
sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya tidur bagimu? Apa
gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya permadani yang hangat bagimu? Apa
gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa gunanya kesenangan yang membuaikan
bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan maha penting yang menunggumu dan
beban berat yang disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja
keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah berlalu, dan
tidak akan kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata yang meronda secara
kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri menyambut
urusan ini dan bersiagalah!.
Sungguh ini merupakan ucapan agung dan kharismatik yang (seakan) melucuti beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam dari kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan
pelukan yang suam untuk kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang
diselimuti oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi
tarik menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama saja.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah bangun dan tetap bangun setelah perintah itu
S i r a h N a b a w i y a h | 65
selama lebih dari dua puluh tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup
untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi
dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat namun beliau
tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini, beban manusia
secara keseluruhan, beban 'aqidah secara keseluruhan, beban perjuangan dan jihad di
medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi pertempuran yang kontinyu
selama lebih dari dua puluh tahun. Selama tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang
dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau mendengar panggilan langit nan agung yang
menyerahkan taklif yang begitu dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas
jasa beliau terhadap manusia secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.
Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu
Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah naungan risalah dan
nubuwwah, kami melihat perlu kita mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang
merupakan sumber risalah dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika
menyinggung urutan kronologi turunnya wahyu tersebut:
Pertama, berupa ar-Ru'ya ash-Shaadiqah (mimpi yang benar); ini merupakan permulaan
turunnya wahyu kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh malaikat terhadap rau' (hati yang ketakutan,
akal) dan hatinya tanpa dapat melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam : "Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril 'alaihissalam)
menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa tidak akan
mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada
Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta janganlah keterlambatan rizki atas kalian
mendorong kalian untuk memintanya dengan cara melakukan perbuatan maksiat
kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada disisi Allah tidak akan didapat kecuali
dengan berbuat ta'at kepadaNya".
Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang laki-laki; lantas dia mengajak beliau
berbicara hingga mengingat dengan jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini,
terkadang para shahabat melihat malaikat tersebut.
Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang datang kepada beliau; peristiwa ini
merupakan pengalaman yang paling berat bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini
hingga membuat keningnya mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat
dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau
menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi tersebut dan saat itu
paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang seketika dirasakan olehnya (Zaid)
S i r a h N a b a w i y a h | 66
demikian berat sehingga hampir saja remuk.
Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu
diwahyukan kepada beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti
ini dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat
an-Najm.
Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada beliau; yaitu saat beliau berada diatas
lelangit pada malam mi'raj , diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan
malaikat sebagaimana Allah berbicara kepada Musa bin 'Imran; peristiwa seperti ini terjadi
dan diabadikan secara qath'i berdasarkan nash al-Qur'an. Sedangkan terhadap Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra' .
Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi delapan, yaitu; Allah berbicara kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam secara langsung tanpa hijab; ini merupakan
permasalahan yang diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana
yang dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan tentang
urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan terakhir ini
(kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan riwayatnya-red).

Rabu, 02 Februari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 06 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

MILAD DAN EMPAT PULUH TAHUN SEBELUM KENABIAN

Milad Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Sayyidul Mursalin, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di lahirkan di tengah kabilah
besar, Bani Hasyim di Mekkah pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal, tahun
pertama tragedi pasukan gajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan kisra
Anusyirwan. Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan
analisis seorang 'Alim Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furi dan Astrolog (Ahli
Ilmu Falak), Mahmud Basya.
Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
"ketika aku melahirkannya, dari farajku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri
Syam". Imam Ahmad, ad-Darimi dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang
hampir mirip dengan riwayat tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi irhashaat (tanda-tanda awal yang
menunjukkan kenabian) ketika milad beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya;
runtuhnya empat belas balkon istana kekaisaran, padamnya api yang sekian lama
disembah oleh kaum Majusi, hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah
airnya menyusut. Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan selain
keduanya namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan, beliau dikirim oleh ibundanya ke
rumah kakeknya, 'Abdul Muththalib dan menginformasikan kepadanya berita gembira
perihal cucunya tersebut. Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong
cucunya tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.
Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti ini tidak populer ketika
itu di kalangan bangsa Arab, dan pada tujuh hari kelahirannya dia mengkhitan beliau
sebagaimana tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam setelah ibundanya
adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga
tengah menyusui bayinya yang bernama Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui
Hamzah bin 'Abdulul Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin 'Abdul Asad alS
i r a h N a b a w i y a h | 48
Makhzumi setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Hidup di tengah kabilah Bani Sa'ad
Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab yang sudah berperadaban adalah mencari
para wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka sebagai tindakan prefentif terhadap
serangan penyakit-penyakit yang biasa tersebar di alam peradaban. Hal itu mereka lakukan
agar tubuh bayi-bayi mereka tersebut kuat, otot-otot mereka kekar serta menjaga agar
lisan Arab mereka tetap orisinil sebagaimana lisan ibu mereka dan tidak terkontaminasi.
Oleh karena itu, 'Abdul Muththalib mencari wanita-wanita yang dapat menyusui
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam; dia memilih seorang wanita dari kabilah Bani Sa'ad
bin Bakr, yaitu Halimah binti Abu Dzuaib sebagai wanita penyusu beliau. Suami dari
wanita ini bernama al-Harits bin 'Abdul 'Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah
yang sama.
Dengan begitu, di sana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memiliki banyak saudara
sesusuan, yaitu; 'Abdullah bin al-Harits, Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah
binti al-Harits (dialah yang berjuluk asy-Syaima' yang kemudian lebih populer menjadi
namanya dan yang juga merawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) serta Abu Sufyan
bin al-Harits bin 'Abdul Muththalib, saudara sepupu Rasulullah.
Paman beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, Hamzah bin 'Abdul Muththalib juga disusui di
tengah kabilah Bani Sa'ad bin Bakr. Ibunya juga menyusui beliau selama sehari, yaitu
ketika beliau berada disisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah merupakan
saudara sesusuan Rasulullah dari dua sisi: Tsuaibah dan (Halimah) as-Sa'diyyah.
Halimah merasakan adanya keberkahan serta kisah-kisah yang aneh lainnya sejak
kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di tengah keluarganya. Untuk itu, baiklah
kita biarkan dia mengisahkannya sendiri secara detail:
" Ibnu Ishaq berkata: 'Halimah pernah berkisah: bahwasanya suatu ketika dia pergi keluar
bersama suami dan bayinya yang masih kecil dan menyusui. Dia juga membawa serta
beberapa wanita yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi susuan. Ketika itu sedang
dilanda musim paceklik sedangkan kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, lalu aku pergi
dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih kehijauan milikku beserta
seekor onta yang sudah tua. Demi Allah! Tidak pernah hujan turun meski setetespun,
kami juga tidak bisa melewati malam dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang
mengerang kelaparan sedangkan ASI di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan
air susu onta tua yang bersama kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami selalu
berharap pertolongan dan jalan keluar. Aku kembali pergi keluar dengan mengendarai
onta betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan sehingga hal
S i r a h N a b a w i y a h | 49
ini membuat rombongan kami gelisah akibat letih dan kondisi kekeringan yang melilit.
Akhirnya kami sampai juga ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi susuan akan tetapi tidak
seorang wanita pun diantara kami ketika disodorkan untuk menyusui Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam melainkan menolaknya setelah mengetahui kondisi beliau yang
yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita penyusu bayi), hanya mengharapkan
imbalan materi dari orang tua si bayi sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bayi
yang yatim, lantas apa gerangan yang dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat kami?.
Kami semua tidak menyukainya karena hal itu; akhirnya, semua wanita penyusu yang
bersamaku mendapatkan bayi susuan kecuali aku. Tatkala kami semua sepakat akan
berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku: 'demi Allah! Aku tidak sudi pulang
bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah! Aku akan
pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi bayi susuanku. Lalu
suamiku berkata: 'tidak ada salahnya bila kamu melakukan hal itu, mudah-mudahan Allah
menjadikan kehadirannya di tengah kita suatu keberkahan. Akhirnya aku pergi ke rumah
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dan membawanya serta. Sebenarnya, motivasiku
membawanya serta hanyalah karena belum mendapatkan bayi susuan yang lain selain
beliau. Setelah itu, aku pulang dengan membawanya serta dan mengendarai
tungganganku. Ketika dia kubaringkan di pangkuanku dan menyodorkan puting susuku
ke mulutnya supaya menetek ASI yang ada seberapa dia suka, diapun meneteknya hingga
kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya (bayiku) hingga kenyang pula.
Kemudian keduanya tertidur dengan pulas padahal sebelumnya kami tak bisa
memicingkan mata untuk tidur karena tangis bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol
onta tua milik kami dan ternyata susunya sudah berisi, lalu dia memerasnya untuk
diminum. Aku juga ikut minum hingga perut kami kenyang, dan malam itu bagi kami
adalah malam tidur yang paling indah yang pernah kami rasakan. Pada pagi harinya,
suamiku berkata kepadaku:' demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah?; kamu telah
mengambil manusia yang diberkahi'. Aku berkata: 'demi Allah! Aku berharap demikian'.
Kemudian kami pergi keluar lagi dan aku menunggangi onta betinaku dan membawa serta
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam diatasnya. Demi Allah! Onta betinaku tersebut sanggup
menempuh perjalanan yang tidak sanggup dilakukan oleh onta-onta mereka, sehingga
teman-teman wanitaku dengan penuh keheranan berkata kepadaku:'wahai putri Abu
Zuaib! Celaka! Kasihanilah kami bukankah onta ini yang dulu pernah bersamamu?, aku
menjawab:'demi Allah! Inilah onta yang dulu itu!'. Mereka berkata:'demi Allah!
Sesungguhnya onta ini memiliki keistimewaan'. Kemudian kami mendatangi tempat
tinggal kami di perkampungan kabilah Bani Sa'ad. Sepanjang pengetahuanku tidak ada
bumi Allah yang lebih tandus darinya; ketika kami datang, kambingku tampak dalam
keadaan kenyang dan banyak air susunya sehingga kami dapat memerasnya dan
meminumnya padahal orang-orang tidak mendapatkan setetes air susupun walaupun dari
kambing yang gemuk. Kejadian ini membuat orang-orang yang hadir dari kaumku berkata
kepada para pengembala mereka: celakalah kalian! Pergilah membuntuti kemana saja
pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakannya. Meskipun demikian,
S i r a h N a b a w i y a h | 50
realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan air susu
setetespun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air susunya. Demikianlah,
kami selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah hingga tak terasa dua
tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya. Dia tumbuh besar namun tidak
seperti kebanyakan anak-anak sebayanya; sebab belum mencapai usia dua tahun dia sudah
tumbuh dengan postur yang bongsor. Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati
yang paling dalam kami sangat berharap dia masih berada di tengah keluarga kami
dikarenakan keberkahan yang kami rasakan sejak keberadaannya dan itu semua kami
ceritakan kepada ibundanya. Aku berkata kepadanya: 'kiranya anda sudi membiarkan anak
ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia terserang penyakit menular
yang ada di Mekkah'. Kami terus mendesaknya hingga dia bersedia mempercayakannya
kepada kami lagi".
Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akhirnya tetap tinggal di lingkungan
kabilah Bani Sa'ad, hingga terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia
empat atau lima tahun. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam didatangi oleh Jibril 'alaihissalam saat beliau tengah bermain
bersama teman-teman sebayanya. Jibril memegang beliau sehingga membuatnya pingsan
lalu membelah bagian dari hatinya, kemudian mengeluarkannya segumpal darah
bersamanya. Jibril berkata: 'ini adalah bagian syaithan yang ada pada dirimu! Kemudian
meletakkannya di dalam baskom yang terbuat dari emas dan mencucinya dengan air zamzam,
merapikan dan mengembalikannya ke tempat semula. Teman-teman sebayanya
tersebut berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata:'sesungguhnya Muhammad sudah
dibunuh!'. Mereka akhirnya beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya dalam
kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas berkata: 'sungguh aku telah melihat bekas
jahitan itu di dada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam '.
Kembali ke pangkuan ibunda nan amat mengasihinya
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas atas diri beliau sehingga dikembalikan
lagi kepada ibundanya. Beliau hidup bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.
Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib sebagai bentuk
kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh
perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih yatim, Muhammad
Shallallahu 'alaihi wasallam, pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul
Muththalib. Setelah menginap selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan
tetapi di tengah perjalanan dia diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di
al-Abwa' , suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Di pangkuan sang kakek nan amat menyayanginya
S i r a h N a b a w i y a h | 51
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan
kasih terhadap sang cucu yang sudah yatim piatu semakin bertambah di sanubarinya, dan
hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang
belum sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak pernah ia
tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya
tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya bahkan dia lebih
mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan anak-anaknya. Ibnu Hisyam
berkata: " Biasanya, 'Abdul Muththalib menghamparkan permadaninya di naungan
Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dia keluar, dan
ketika itu, tak seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk disitu
untuk menghormati kedudukannya. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ; tatkala beliau masih berusia di bawah dua dengan postur
tubuh yang bongsor datang dan langsung duduk-duduk diatas permadani tersebut,
paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu. Melihat
tindakan anak-anaknya itu, dia berkata kepada mereka: 'biarkan saja anakku ini melakukan
apa saja! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!'. Kemudian
dia duduk-duduk bersama beliau di permadani itu, mengelus-elus punggungnya dengan
tangan kasihnya. Dia merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh cucunya tersebut".
Kakek beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meninggal di Mekkah saat beliau berusia delapan
tahun dua bulan sepuluh hari. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia
menyerahkan tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu
'alaihi wasallam, Abu Thalib ; saudara kandung ayahanda beliau.
Di pangkuan sang paman nan penuh perhatian terhadapnya
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan kepadanya untuk mengasuh
keponakannya dengan penuh tanggung jawab sepertihalnya dia mengasuh anak-anaknya
sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya diatas kepentingan mereka. Dia juga,
mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut
terus berlanjut hingga beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berusia diatas empat puluh tahun;
pamannya masih tetap memuliakan beliau, memberikan pengamanan terhadapnya,
menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya. Dan
sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada bagian pembahasan tersendiri.
Meminta turunnya hujan melalui "wajah" beliau
Ibnu 'Asaakir mengeluarkan hadits dari Jalhamah bin 'Arfathah, dia berkata: " ketika aku
datang ke Mekkah, mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turunnya hujan),
lantas orang-orang Quraisy berseru:'wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya
S i r a h N a b a w i y a h | 52
dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!'. Kemudian Abu
Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh
awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, dan disekitarnya terdapat sumber mata air
sumur; Abu Thalib memegang anak tersebut, menempelkan punggungnya ke Ka'bah,
serta menggandengnya dengan jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama sekali gumpalan
awan, maka tiba-tiba awan menggumpal kemudian turunlah hujan dengan lebatnya
sehingga lembah jebol dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu
Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya :
"…putih, seorang penolong anak-anak yatim meminta turunnya hujan
melalui 'wajah'-nya demi menjaga kehormatan para janda"
Bersama sang Rahib, Buhaira
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berusia dua belas tahun - ada riwayat yang
menyatakan; dua belas tahun dua bulan sepuluh hari - pamannya, Abu Thalib
membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat
bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan .
Ketika itu juga, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih dibawah
kekuasaan Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib yang bernama Buhaira (ada
yang mengatakan nama aslinya adalah Jirjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung
menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu, kemudian
menyampiri mereka, satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah lalu memegang
tangannya sembari berkata: "inilah penghulu para makhluk, inilah Rasul Rabb alam
semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini". Abu Thalib dan
pemuka kaum Quraisy bertanya kepadanya: "bagaimana anda tahu hal itu?". Dia
menjawab: "sesungguhnya ketika kalian menanjak bebukitan, tidak satupun dari bebatuan
ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua makhluk itu tidak akan
bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui cincin
kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya
seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui beritanya dari kitab suci kami. Kemudian
barulah sang Rahib mempersilahkan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Lalu
dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponkannya tersebut ke Mekkah
dan tidak lagi membawanya serta ke Syam sebab khawatir bila tercium oleh orang-orang
Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya bersama sebagian anak-anaknya
ke Mekkah.
Perang "Fijar"
Perang Fijar yang terjadi antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Kinanah
melawan kabilah Qais dan 'Ilan meletus pada saat beliau berusia dua puluh tahun. Harb
S i r a h N a b a w i y a h | 53
bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan
Kinanah secara umum karena faktor usia dan kedudukan. Perang pun meletus, pada
permulaan siang hari, kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah namun
pada pertengahan hari keadaan terbalik; justeru kemenangan berpihak pada Kinanah.
Dinamakan "Perang Fijar" karena dinodainya kesucian asy-Syahrul Haram pada bulan
tersebut. Dalam perang ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ikut serta dan
membantu paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Hilful Fudhuul
Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya suatu perjanjian (kebulatan
tekad/sumpah setia) yang disebut dengan "Hilful Fudhuul" pada bulan Dzul Qaidah di
bulan haram. Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya, mereka
terdiri dari: Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilaab
dan Tiim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin Jud'an at-Tiimy
karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut; mereka bersepakat dan
berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizhalimi di Mekkah baik dia penduduk
asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi mereka akan bergerak menolongnya hingga
dia meraih haknya kembali. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menghadiri hilf
tersebut. Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan ar-Risalah , beliau berkomentar
:"aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman 'Abdullah bin Jud'an yang lebih
aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Na'am (onta merah yang merupakan harta
yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa Arab ketika itu-red). Andai di masa
Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya".
Sebagai catatan, semangat perjanjian ini bertentangan dengan fanatisme Jahiliyyah yang
digembar-gemborkan ketika itu. Diantara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya
perjanjian tersebut adalah ada seorang dari kabilah Zabiid datang ke Mekkah membawa
barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-'Ash bin Waa-il as-Sahmi
akan tetapi dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang tersebut meminta
bantuan kepada sukutu-sekutu al-'Ash namun mereka mengacuhkannya. Akhirnya, dia
menaiki gunung Abi Qubais dan menyenandungkan sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman
yang tengah dialaminya seraya mengeraskan suaranya. Rupanya, az-Zubair bin 'Abdul
Muththalib mendengar hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya:"kenapa orang
ini diacuhkan?". Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah yang telah
menyetujui perjanjian Hilful Fudhuul diatas, lantas mereka mendatangi al-'Ash bin Waa-il
dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang tersebut, mereka berhasil setelah
membuat suatu perjanjian.
Menjalani kehidupan dengan kerja keras
S i r a h N a b a w i y a h | 54
Diawal masa mudanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak memiliki pekerjaan
tertentu, hanya saja riwayat-riwayat yang ada menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai
pengembala kambing dan mengembalanya di perkampungan kabilah Bani Sa'ad
disamping bekerja untuk Ahli Mekkah dengan upah sebesar Qaraariith (jamak dari kata
qiiraath ; yaitu bagian dari uang dinar, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa itu
adalah nama suatu tempat di Mekkah akan tetapi pendapat ini tidak kuat-[lihat; fathul Bari
dalam syarahnya terhadap hadits tentang ini]-red). Ketika berusia dua puluh lima tahun,
beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadijah
radhiallâhu 'anha . Ibnu Ishaq berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang
wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak
kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil. Kabilah Quraisy
dikenal sebagai pedagang handal, maka tatkala sampai ke telinganya perihal kejujuran
bicara, amanah dan akhlaq Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia, dia
mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan
harta miliknya ke negeri Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang
istimewa yang tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya.
Beliau juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima
tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama
pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam.
Menikah dengan Khadijah
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap
harta yang diserahkan kepadanya begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan
yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah,
pembantunya tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya;
maka dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon pendamping idamanred)
padahal banyak kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat berkeinginan
untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menceritakan keinginan
hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas
menemui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dan meminta kesediaan beliau untuk
menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya dan menceritakan hal tersebut kepada
paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamar
keponakannya. Maka pernikahan pun berlangsung setelah itu dan 'aqad tersebut dihadiri
oleh Bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar. Pernikahan tersebut berlangsung dua
bulan setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau memberikan mahar berupa dua
puluh ekor onta muda sedangkan Khadijah ketika itu sudah berusia empat puluh tahun.
Dia adalah wanita kabilahnya yang paling terhormat nasabnya, paling banyak hartanya dan
paling brilian otaknya. Dialah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam dimana beliau tidak menikah lagi dengan wanita selainnya hingga dia
wafat.
S i r a h N a b a w i y a h | 55
Semua putra-putri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam lahir dari rahim Khadijah kecuali
putranya, Ibrahim. Putra-putri beliau tersebut adalah:1). al-Qasim (dimana beliau dijuluki
dengannya). 2). Zainab. 3). Ruqayyah. 4). Ummu Kultsum. 5). Fathimah. 6). 'Abdullah
(julukannya adalah ath-Thayyib dan ath-Thaahir). Semua putra beliau meninggal ketika
masih kecil sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup pada masa Islam, menganutnya
dan juga ikut berhijrah namun semuanya meninggal dunia semasa beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam masih hidup kecuali Fathimah radhiallâhu 'anha yang meninggal enam bulan
setelah beliau wafat.
Membangun Ka'bah dan Penyelesaian pertikaian
Pada saat beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berusia tiga puluh lima tahun, kabilah Quraisy
membangun Ka'bah karena kondisinya sebelum itu hanyalah berupa tumpukantumpukan
batu-batu berukuran diatas tinggi badan manusia, yaitu setinggi sembilan hasta
di masa Ismail 'alaihissalam dan tidak memiliki atap. Karenanya, harta terpendam yang
ada didalamnya berhasil dicuri oleh segerombolan para pencuri. Disamping itu, karena
merupakan peninggalan sejarah, ka'bah sering diserang oleh pasukan berkuda sehingga
merapuhkan bangunannya dan merontokkan sendi-sendinya. Lima tahun sebelum beliau
diutus menjadi Rasulullah, Mekkah dilanda banjir besar dan airnya meluap mencapai
pelataran al-Baitul Haram sehingga mengakibatkan bangunan ka'bah hampir ambruk.
Orang-orang Quraisy terpaksa merenovasi bangunannya untuk menjaga reputasinya dan
bersepakat untuk tidak membangunnya dari sembarang sumber dana selain dari sumber
usaha yang baik; mereka tidak mau memakai dana dari mahar hasil pelacuran, transaksi
ribawi dan hasil pemerasan terhadap orang-orang. Mereka merasa segan untuk
merobohkan bangunannya, sampai akhirnya dimulai oleh al-Walid bin al-Mughirah al-
Makhzumi baru kemudian diikuti oleh yang lainnya setelah mereka melihat tidak terjadi
apa-apa terhadapnya. Mereka terus melakukan perobohan hingga sampai ke pondasi
pertama yang dulu diletakkan oleh Ibrahim 'alaihissalam . Setelah itu mereka memulai
perenovasiannya; pertama-pertama mereka membagi bagian bangunan ka'bah yang akan
dikerjakan beberapa bagian, yaitu masing-masing kabilah mendapat satu bagian dan
mengumpulkan sejumlah batu sesuai dengan jatah masing-masing lalu dimulailah
perenovasiannya. Sedangkan yang menjadi pimpinan proyeknya adalah seorang arsitek
asal Romawi yang bernama Baqum . Tatkala pengerjaan tersebut sampai ke al-Hajar al-
Aswadi, mereka bertikai tentang siapa yang paling berhak untuk meletakkannya ke tempat
semula dan pertikaian tersebut berlangsung selama empat atau lima malam bahkan
semakin meruncing sehingga hampir terjadi peperangan yang maha dahsyat di tanah al-
Haram . Untunglah, Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi menengahi dan menawarkan
penyelesaian pertikaian diantara mereka lewat perundingan damai, caranya; siapa yang
paling dahulu memasuki pintu masjid diantara mereka maka dialah yang berhak
meletakkannya. Tawaran ini dapat diterima oleh semua dan atas kehendak Allah Ta'ala,
S i r a h N a b a w i y a h | 56
Rasulullah lah yang menjadi orang pertama yang memasukinya. Tatkala mereka
melihatnya, dia disambut dengan teriakan: "inilah al-Amiin! Kami rela! Inilah Muhammad!
". Dan ketika beliau mendekati mereka dan diberitahu tentang hal tersebut, beliau
meminta sehelai selendang dan meletakkan al-Hajar al-Aswad ditengahnya, lalu
pemimpin-pemimpin kabilah yang bertikai tersebut diminta agar masing-masing
memegang ujung selendang dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya tinggitinggi
hingga manakala mereka telah menggelindingkannya dan sampai ke tempatnya,
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengambilnya dengan tangannya dan meletakkannya di
tempatnya semula. Ini merupakan solusi yang tepat dan jitu yang diridhai oleh semua
pihak.
Orang-orang Quraisy kekurangan dana dari sumber usaha yang baik sehingga mereka
harus membuang sebanyak enam hasta dari bagian utara, yaitu yang dinamakan dengan al-
Hijr (Hijr Isma'il-red) dan al-Hathim, lalu mereka tinggikan pintunya dari permukaan
bumi agar tidak dapat dimasuki kecuali saat menginginkannya. Tatkala pembangunan
sudah mencapai lima belas hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam
tiang.
Akhirnya Ka'bah yang baru diselesaikan tersebut berubah menjadi hampir berbentuk
kubus dengan ketinggian 15 m dan panjang sisi yang berada di bagian al-Hajar al-Aswad
dan bagian yang searah dengannya adalah 10,10 m. al-Hajar al-Aswad sendiri dipasang
diatas ketinggian 1,50 m dari permukaan pelataran thawaf. Adapun panjang sisi yang
berada di bagian pintu dan bagian yang searah dengannya adalah 12 m sedangkan tinggi
pintunya adalah 2 m diatas permukaan bumi. Dan dari sebelah luarnya dikelilingi oleh
tumpukan batu bangunan, tepatnya di bagian bawahnya, tinggi rata-ratanya adalah 0,25 m
dan lebar rata-ratanya 0,30 m dan bagian ini dikenal dengan nama asy-Syaadzirwan yang
merupakan bagian dari pondasi asal Ka'bah akan tetapi orang-orang Quraisy
membuangnya.
Sirah Nabawiyyah secara global sebelum kenabian
Sesungguhnya telah terhimpun pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sejak dari
perkembangannya kelebihan-kelebihan yang merupakan terbaik yang ada pada lapisan
masyarakat kala itu. Beliau adalah tipe manusia utama dari sisi kejernihan berpikir dan
ketajaman pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih, orisinilitas pemikiran
dan ketepatan sarana dan misi. Beliau biasa diam berlama-lama untuk renungan yang
panjang, pemusatan pikiran serta pencapaian kebenaran. Dengan akalnya yang brilian dan
fithrahnya yang suci beliau memonitor lembaran kehidupan, urusan manusia dan kondisi
banyak kelompok. Karenanya, beliau acuh terhadap segala bentuk khurafat dan jauh
sejauh-sejauhnya dari hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik
terhadap dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut berpartisipasi didalamnya
S i r a h N a b a w i y a h | 57
dan jika tidak, maka beliau lebih memilih untuk mengasingkan diri. Beliau tidak pernah
minum khamar, tidak pernah makan daging yang dipersembahkan kepada berhala, tidak
pernah menghadiri perayaan untuk berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak
pertumbuhannya sudah menghindari dari sesembahan yang bathil. Lebih dari itu, beliau
malah amat membencinya dan tidak dapat menahan dirinya bila mendengar sumpah
serapah dengan nama laata dan 'uzza.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir ilahi lah beliau dapat terjaga dari hal
tersebut; manakala hawa nafsu menggebu-gebu untuk mengintai sebagian kenikmatan
duniawi dan rela mengikuti sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah 'inaayah rabbaniyyah
menghalanginya dari hal-hal tersebut.
Ibnu al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "aku hanya
dua kali pernah berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Ahli
Jahiliyyah namun semua itu dihalangi oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya,
kemudian aku berkeinginan lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta'ala memuliakanku
dengan risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah berkata kepada
seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di puncak Mekkah; 'sudikah kamu
mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki Mekkah dan bergadang ria seperti
yang dilakukan oleh para pemuda tersebut?'. Dia menjawab: 'ya, aku sudi! '. Lantas aku
pergi keluar hingga saat berada di sisi rumah yang posisinya paling pertama dari Mekkah,
aku mendengar suara alunan musik (tabuhan rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan ini?,
mereka menjawab: 'prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah! '. Kemudian aku
duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk mendengarkannya
dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga hampir tidak terjaga bila saja
terik panas matahari tidak menyadarkanku. Akhirnya, aku kembali menemui temanku
yang langsung bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun
memberitahukannya. Kemudian (kedua kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang
lain seperti itu juga; aku memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti
malam sebelumnya; lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun".
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah, dia berkata: "ketika Ka'bah
direnovasi, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan 'Abbas bekerja mengangkut bebatuan,
lalu 'Abbas berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :'tarik kainmu hingga sebatas
lututmu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan, namun beliau tetap tersungkur ke tanah
dalam posisi terlentang sedangkan kedua mata beliau mengarah ke langit, tak berapa lama
kemudian beliau baru tersadar, sembari berkata: 'mana kainku! mana kainku!'. Lalu beliau
mengikat kembali kain tersebut dengan kencang. Dan dalam riwayat yang lain:'maka
setelah itu, tidak pernah lagi 'aurat beliau kelihatan'.
Di kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam memiliki keistimewaan dalam
S i r a h N a b a w i y a h | 58
tabi'at yang manis, akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang
yang paling utama dari sisi muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling
baik akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat
kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling suci jiwanya,
paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling menepati janji serta
paling amanah sehingga beliau dijuluki oleh mereka dengan al-Amiin. Hal itu semua
lantaran bertemunya kepribadian yang shalih dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah
dikatakan terhadap beliau sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin, Khadijah
radhiallâhu 'anha ; "orang yang memikul beban si lemah, memberi nafkah terhadap si
papa (orang yang tidak memiliki/tanpa apa-apa), menjamu tetamu dan selalu menolong
dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran.

Minggu, 23 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 05 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

NASAB DAN KELUARGA BESAR NABI

Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang
disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan
nasab beliau hingga kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang
mengambil sikap diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu
tentangnya, yaitu urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam.
Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak shahih,
yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam 'alaihissalam. Kami
sudah singgung sebagiannya, dan berikut ini penjelasan detail tentang ketiga klasifikasi
tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya;
Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah)
bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin
Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin
an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya:
'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad
bin Humaisa' bin Salaaman bin 'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin
Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin
Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin
Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad
bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin 'Uudhah bin
'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim)
yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau
Saaruugh bin Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin
Nuh 'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan
bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin Qainaan bin
Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.
S i r a h N a b a w i y a h | 40
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih dikenal
dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin
'Abdu Manaf), oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini
dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah orang yang bertindak
sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (ar-
Rifadah) terhadap Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan
antara Banu 'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan
antar kedua belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang
baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan
berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada
jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru, adapun kenapa dia
dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai
dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang
mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus
Syitaa' ; bepergian di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas
(sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair
bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun
ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang
puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian
berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang
mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan 'Abdul Muththalib). Hasyim
akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina. Isterinya, Salma
melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya
dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"-
red) di kepalanya. Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib
sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu
tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri. Keempat
puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul Muththalib. Sedangkan
kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.
S i r a h N a b a w i y a h | 41
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu kita telah mengetahui bahwa
tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan
kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan,
disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya
dengan al-Fayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa
Arab adalah yang murah hati-red)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja
sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang
dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air
matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan dinaikkannya ke atas tunggangannya dan
memboncengnya namun cucunya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya.
Kakeknya, al- Muththalib kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya
membawa serta cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut. Al-
Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul Muththalib) akan ikut
bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah
Haram Allah". Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib
dibonceng oleh kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orangorang
berteriak: "inilah 'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib memotong teriakan
tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku (keponakanku),
Hasyim". 'Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak
dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya
kemudian digantikan oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan
terhadap kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil
melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang
belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka
sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman 'Abdul Muththalib) menyerobot
kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta
merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang
paman. Namun mereka menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri
urusanmu dengan pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak
ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan memohon
bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh orang kemudian
berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah,
sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul Muththalib yang langsung bertutur
kepadanya: "silahkan mampir ke rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi
Allah, aku tidak akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal", lantas
dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat al-Hijr
(Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd langsung mencabut pedangnya
seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau kembalikan
kekuasaan anak saudara perempuanku (keponakanku) maka aku akan memenggalmu
S i r a h N a b a w i y a h | 42
dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini
disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah
'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama disana, dia melakukan
umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam-red) kemudian pulang ke
Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu
dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku
Khuza'ah tergerak juga untuk menolong 'Abdul Muththalib setelah melihat pertolongan
yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-
Najjar):"kami juga melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/turunan
kami-red) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini
lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun
Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi Syams dan
Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas Baitullah di masa 'Abdul Muththalib:
Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan gajah.
Ringkasan momentum pertama : 'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan
untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana letaknya, lantas dia
melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan
didalamnya benda-benda terpendam yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka
akan keluar meninggalkan Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi
(baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia
jadikan sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai
lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan
tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya.
Mereka berkata kepadanya: "ikutsertakan kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan
melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku tangani secara khusus".
Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun
wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air
pun habis lalu Allah turunkan hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun
tercurah ke atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan
kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah
'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah
mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya untuk
menyembelih salah seorang dari mereka disisi Ka'bah maka dia tetap akan melakukannya.
Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa bawahan anS
i r a h N a b a w i y a h | 43
Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia
juga membangun gereja yang amat megah di kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orangorang
Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang
berasal dari Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam
memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran. Tatkala
mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan
pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000 personil) ke Ka'bah untuk
meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar sebagai tunggangannya. Dalam
pasukan tersebut terdapat sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan
perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya,
menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi
baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara
Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi
berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah selatan, utara
atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan
bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut duduk. Manakala mereka mengalami
kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas mereka burung-burung yang
berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Burung tersebut semisal besi yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas
(balsan). Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di
kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai seseorang
maka anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi berkeping-keping dan hancur.
Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri
tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalanjalan
lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah
kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan
berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak ubahnya seperti
seekor anak burung yang dadanya terbelah dari hatinya, untuk kemudian dia roboh tak
bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung
dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri dan takut kejadian tragis yang
menimpa pasukan Abrahah tersebut akan menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan
tersebut telah mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung
dan kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari atau lima puluh
lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan
Maret pada tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah untuk
S i r a h N a b a w i y a h | 44
NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis, kita melihat
bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-red) telah dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari
kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu penduduknya beragama Islam, yakni
sebagaimana yang terjadi dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587
SM dan oleh bangsa Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai
oleh orang-orang Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang
Islam/Muslimun) padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi yang dapat mengekspos beritanya ke
seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang
ketika itu memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orangorang
Farsi masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap orangorang
Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa tragis tersebut,
orang-orang Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua negeri inilah (Farsi dan
Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa
tersebut juga mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan
kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat
suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai pengemban
risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari terjadinya
peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan Allah
terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum Musyrikin; suatu cara yang
melebihi kejadian Alam yang bernuasa kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu
Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah
dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang
menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang
sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang bernama 'Abdul
Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak
lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada
diantara putera-puteranya tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya
berjumlah enam orang, yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah,
Arwa dan Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama
Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah.
'Abdullah ini adalah anak yang paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib,
yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban
yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas. Ceritanya; ketika
'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan mengetahui
S i r a h N a b a w i y a h | 45
bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu
mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama
mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada
patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama
'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan
mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy
mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan
saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas,
apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian datang
kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini memerintahkannya
untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara nama 'Abdullah dan sepuluh
ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus
menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha.
Dan jika yang keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.
'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian
(sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan
sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka
dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi
maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh
ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut
jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan
meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia
maupun binatang buas. Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab
secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu maka
dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam. Diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu)
kedua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il
'alaihissalam dan ayah beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari;
II/240-243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, 'Abdullah seorang gadis bernama Aminah
binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita
idola di kalangan orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya
adalah pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah
dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama
kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai disana
dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di
Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia
meninggal dua bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika
S i r a h N a b a w i y a h | 46
berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi kepergian sang suami
dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang berisi ungkapan kepedihan hati atas kematian
seseorang dengan menyebut kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan
menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, sekumpulan
kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama
panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam.

Rabu, 19 Januari 2011

SIRAH NABAWIYAH ( 04 ) Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

GAMBARAN MASYARAKAT ARAB JAHILIYAH

Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi politik dan agama di jazirah Arab, kita
masih menyisakan pembahasan tentang kondisi sosial, politik dan moral. Berikut ulasan
singkatnya:
Kondisi Sosial
Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakat Arab dimana antar satu dengan
lainnya, kondisinya berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di
lapisan kaum bangsawan mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi,
kemerdekaan berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi
terbesar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang
terhunus dan darah yang tertumpah. Seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan
hati dan keberaniannya di mata orang Arab, maka hendaklah waktunya yang banyak
hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika seorang wanita menghendaki,
dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat
menyulut api peperangan diantara mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi
bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap didalamnya.
Hubungan antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi
oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menggurui mereka.
Sementara kondisi kaum bangsawan demikian, kondisi yang dialami oleh lapisan
masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampur baur
antara kaum laki-laki dan wanita. Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah
berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah dan perbuatan keji. Imam Bukhari dan
lainnya meriwayatkan dari 'Aisyah radhiallâhu 'anha bahwa pernikahan pada masa
Jahiliyah terdiri dari empat macam:
Pertama , Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang; yaitu seorang laki-laki
mendatangi laki-laki yang lain dan melamar wanita yang dibawah perwaliannya atau anak
perempuannya, kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
Kedua, seorang laki-laki berkata kepada isterinya manakala ia sudah suci dari haidnya,
"pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, isterinya
ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari
S i r a h N a b a w i y a h | 33
laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya, bila si suaminya masih berselera
kepadanya maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin
mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-
Istibdha'.
Ketiga , sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian
mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan
melahirkan, kemudian setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus
kepada mereka (sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka
yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita ini
berkata kepada mereka: "kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku
sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu wahai si fulan!". Dia menyebutkan
nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
Keempat , Banyak laki-laki mendatangi seorang wanita sedangkan si wanita ini tidak
menolak sedikitpun siapa pun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur; di
pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa
pun yang menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, lakilaki
yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (al-
Qaafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang
mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas dipanggillah si anak tersebut
sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal.
Maka ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
hapuskan semua pernikahan kaum Jahiliyah tersebut kecuali pernikahan yang ada saat ini.
Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan
diadakan dibawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang
dalam perang antar suku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan
menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan
mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak isteri (poligami) tanpa batasan
tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini isteri bapak-bapak
mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibuibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu
yang perempuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
S i r a h N a b a w i y a h | 34
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(23)". [Q.,s. 4/an-
Nisa': 22-23]. Hak mentalak ada pada kaum laki-laki tetapi tidak memiliki batasan
tertentu.
Perbuatan zina merata pada setiap lapisan masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan
hal itu kepada satu lapisan tanpa menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok lakilaki
dan wanita yang terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki jiwa besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita
merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi mereka (budah
wanita) amat parah sekali. Nampaknya, mayoritas kaum Jahiliyah tidak merasakan
keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu menjadi suatu aib bagi mereka. Imam
Abu Daud meriwayatkan dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata:
seorang laki-laki berdiri sembari berkata: wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah
anakku dari hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "tidak ada dakwaan dalam
Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang terkait dengan masa Jahiliyah
telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang (dinasabkan kepada yang empunya
ranjang,yaitu suami yang dengan nikah yang shah-penj), sedangkan kehinaan adalah hanya
bagi wanita pezina". Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal yang
terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan 'Abd bin Zam'ah dalam mempersoalkan nasab
anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin Zam'ah.
Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan anak-anaknya, amat berbeda-beda;
diantara mereka ada yang menguraikan rangkaian bait:
Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami
Bagai buah hati, berjalan melenggang diatas bumi
Diantara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup anak- anak wanita mereka karena takut
malu dan enggan menafkahinya. Anak laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan
melarat. Allah berfirman: "…dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka..". (Q.,s.6/al-
An'am:151). Allah juga berfirman: "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar
dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah.(58) Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (59)". (Q.,s. 16/an-Nahl: 58-59). Allah
S i r a h N a b a w i y a h | 35
berfirman lagi: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kami lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar".(Q.,s. 17/al-Isra': 31). Allah berfirman
dalam ayat yang lain: "dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya". (Q.,s. 81/at-Takwir: 8). Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang
termaktub dalam ayat-ayat diatas telah mencerminkan moral yang berlaku umum di
masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak laki-laki untuk dapat
membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Sedangkan pergaulan antar seorang laki-laki dengan saudaranya, anak-anak paman dan
kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan.
Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa
fanatisme tersebut. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme
rasial dan hubungan tali rahim. Mereka hidup dibawah semboyan yang bertutur:
"Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi". Mereka menerapkan
semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang telah diralat oleh Islam yaitu
menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya mencegahnya melakukan perbuatan itu.
Meskipun begitu, perseteruan dan persaingan dalam memperebutkan martabat dan
kepemimpinan seringkali mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih
memiliki hubungan se-bapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi
antara suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.
Di lain pihak, hubungan yang terjadi antar suku yang berbeda-beda benar-benar
berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan untuk berjibaku dalam peperangan.
Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan
kebiasan bersama yang sudah ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit
mengurangi deras dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi
tertentu, loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku
yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat dan
penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang (al-
Asyhurul Hurum) sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari rizki guna
kebutuhan sehari-hari.
Singkat kata, bahwa kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh
dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimanamana.
Orang-Orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan
terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara
setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan
mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan
musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.
S i r a h N a b a w i y a h | 36
Kondisi Ekonomi
Kondisi sosial diatas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat
cara dan gaya hidup bangsa Arab. Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam
menggapai kebutuhan hidup, namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila
keamanan dan perdamaian membarenginya. Akan tetapi kedua situasi tersebut lenyap dari
Jazirah Arab kecuali pada "al-Asyhurul Hurum" saja. Dalam bulan-bulan inilah pasarpasar
Arab terkenal seperti 'Ukazh, Dzil Majaz, Majinnah dan lainya beroperasi.
Sedangkan dalam kegiatan industri mereka termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya
dari hal itu. Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah
berupa tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat
Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit
industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta onta. Kaum
wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun barang-barang tersebut sewaktu-waktu
dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa
menyelimuti masyarakat.
Kondisi Moral
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Jahiliyah identik dengan kehidupan nista,
pelacuran dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh
perasaan. Namun begitu, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat
menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut
adalah:
Kemurahan hati
Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan membangga-banggakannya. Setengah dari
bait-bait Sya'ir mereka penuh dengan ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri
sendiri dan kepada orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang
kedatangan tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta
dalam kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain onta betina yang merupakan satusatunya
sumber hidupnya dan keluarganya, akan tetapi getaran kemurahan hati yang
menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan
istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah onta satu-satunya tersebut. Diantara
pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang
berlipat dan beban-beban berat demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya
jiwa. Mereka berbangga dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan para tokoh dan
pemuka.
Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka memuji-muji diri karena minum khamar/arak.
S i r a h N a b a w i y a h | 37
Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi
lantaran hal itu merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga
sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula, mereka
menamakan pohon anggur dengan al-Karom (murah hati) sedangkan arak yang terbuat
dari anggur itu mereka namakan bintul Karom. Jika anda membuka kembali Diwan
(Buku-buku/lembaran-lembaran yang mengoleksi) sya'ir-sya'ir Jahiliyah, anda akan
menemukan satu bab yang bertema : al-Madih wal fakhr (puji-pujian dan kebanggaan diri)
. Dalam hal ini, 'Antarah bin Syaddad al-'Absy mengurai bait-bait syairnya dalam
Mu'allaqah-nya (Mu'allaqah artinya yang digantungkan maksudnya bahwa kumpulan
sya'ir-sya'ir tujuh Penyair 'Arab terkenal pada masa itu yang dinamakan dengan al-
Mu'allaqat as-Sab', termasuk diantaranya 'Antarah ini, digantungkan secara bersama di
dinding ka'bah sehingga semua orang yang melakukan thawaf dapat mengetahui sekaligus
membacanya-penj):
"Sungguh aku telah menenggak arak di tempat mulia sesudah wanita-wanita penghibur
ditelantarkan dengan cangkir dari kaca kuning diatas nampan nan terangkai bunga dalam
genggaman tangan dingin Saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh
Hartaku,namun begitu, kehormatanku masih sadarkan Kala aku tersadarkan, takkan
lengah menyongsong panggilan Sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabi'atku"
Pengaruh lainnya dari sifat al-Karom adalah mereka menyibukkan diri dalam bermain judi
dimana mereka menganggap hal itu sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari
keuntungan yang diraih dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi
makan fakir miskin. Atau bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih masingmasing
pemenang. Oleh karena itu, anda lihat Al-Qur'an tidak mengingkari manfa'at dari
khamar dan judi (maysir) itu, akan tetapi menyatakan : "..Dan dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". (Q,.s. 2/al-Baqarah: 219).
Menepati Janji
Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh meskipun
untuk mendapatkannya mereka menganggap enteng membunuhi anak-anak mereka dan
menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan
membaca kisah Hani' bin Mas'ud asy-Syaibany, as-Samaual bin 'Adiya dan Hajib bin
Zurarah at-Tamimy.
Kebanggan pada diri sendiri dan sifat pantang menerima pelecehan dan
kezhaliman
Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan,
cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan
pernah mau mendengar ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan.
Dan apabila hal itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan
S i r a h N a b a w i y a h | 38
mengacungkan tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak
peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.
Tekad yang pantang surut
Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu
kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka
tersebut, bahkan mereka akan nekad menerjang bahaya demi hal itu.
Lemah lembut, tenang dan waspada
Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini, hanya saja keberadaannya seakan terhalangi
oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap
untuk berperang.
Gaya hidup lugu dan polos ala Badui yang belum terkontaminasi oleh kotoran peradaban
dan tipu dayanya
Implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat jujur, amanah serta anti menipu
dan mengibul.
Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat berharga ini, disamping letak geografis
jazirah Arab di mata dunia adalah sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk
mengemban risalah yang bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat
dunia. Sebab akhlak ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan
menimbulkan peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat
berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum setelah
adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Dan hal inilah yang dilakukan oleh Islam
ketika datang.
Nampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat bermanfaat menurut mereka setelah
sifat menepati janji adalah sifat kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal
demikian, karena tidak mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta
menciptakan sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan
yang memiliki daya gempur dan tekad yang membaja.
Selain sifat-sifat diatas, mereka juga memiliki sifat-sifat mulia lainnya namun bukanlah
maksud kami menghadirkannya disini untuk melacaknya secara tuntas.

FIRMAN GUNS. Diberdayakan oleh Blogger.